email : gramatoriz@yahoo.com



GRAMATOR

GRAMATOR
GERAKAN MAHASISWA DINAMISATOR

ABSENT

25 Maret 2009

FENOMENA GOLPUT

Pemilu 2009 tinggal menghitung hari, berbagai instrumen kampanye seperti stiker, kalender, baliho, bendera, dan lain sebagainya bertebaran di mana-mana. Slogan janji dan promosi diri yang agaknya menggelitik memenuhi ruang media cetak maupun elektronik. Semuanya bertujuan untuk sosialisasi diri dengan berharap dikenal dan kemudian dipilih. Seperti itulah mental-mental para politikus yang menunggu pemilu baru mau mendekati, mengetahui dan mengenal situasi masyarakat. Fenomena golput bukan hal baru dalam panggung politik di negara ini Hanya saja pertanyaannya, apa sebetulnya rasionalitas dibalik golput? Ada yang mengatakan golput sebagai indikator semakin tingginya tingkat kesadaran politik masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari prosentase pemilu 2004 sejumlah 24,43% (hampir ¼ jumlah penduduk Indoesia). Oleh karenanya mereka secara rasional bisa menentukan pilihan politiknya sendiri termasuk menggunakan haknya untuk tidak memilih (GOLPUT).
Tapi ini bisa juga dilihat sebagai hukuman sosial atas perilaku politikus. Elit politik bisa saja menjadi pejabat publik karena modal dan kekuasaannya namun minim pengakuan dan respek dari masyarakat. Demokrasi yang tidak sambung, antara elit dan masyarakat tidak ada kaitannya satu sama lain.
Namun apakah golput efektif sebagai jalan keluar agar demokrasi lebih bermakna? Dulu golput diusung Arief Budiman Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan salah satu partai politik yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Saat ini faktor tersebut sudah tidak ada lagi. Kita bebas mendirikan parpol dan mengekspresikan diri secara politik. Jadi apa masalahnya?
APAKAH ANDA MENGGUNAKAN HAK PILIH ATAU GOLPUT?
gramator.blogspot.com
email : www.gramator@ymail.com

29 Oktober 2008

Sastra dan Perjuangan Kelas: Dalam Analisa Sosiologi Sastra Marxis

Oleh : Agus Bahtra

(By Komunitas Sastra STKIP Jombang 06 A)

Pengantar

Saat ini adalah era globalisasi, sehingga hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya yang ada, yang telah digelontarkan oleh mereka yang menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Mereka adalah kelompak masyarakat (Penguasa) yang telah memuja-muja dan menari-nari diatas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Sehingga yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati (ingat…kita hanya bisa menikmati) apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh; padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.

Yang menjadi perhatian kita adalah hal tersebut akan membawa dampak psychologist maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia-kita) yang notabene-Nya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Sehingga kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit pilitik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem kapitalisme-birokratik oleh bangsa sendiri yang disetir kapitalisme global.

Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng. Oleh karena itu adalah wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.

Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak dipimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sisni dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.

Analisa sosiologi Sastra Marxis

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, agama pada setiap jaman-merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan didalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau wong gedhe-wong cilik. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.

Jika bagi marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.

Berarti hamper tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam naskah drama Opera Ikan Asin karya saduran N. Riantiarno yang disitu menggambarkan kekejaman kaum bagsawan yang telah melakukan pemerasan, koruptor, dan kebrengsekan. Dalam hal ini, komunitas sastra 06 A akan mengankat drama tersebut yang akan dipentaskan pada awal januari 2009. Contoh lain dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.

Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.

salam perjuangan…..!

13 September 2008

UNDERGROUND LOVERMANIAK

Mau download klik disini

18 Agustus 2008

INOVASI KONTEMPORER sake vs saka (sastrawan kere vs sastrawan kaya)

TIDAK UNTUK KAUM HEDONIS DAN BUKAN SEBUAH KARYA INTERTEKSTUAL

CARI MAKNA ................!




sudah menjadi sebuah realita jika ada suatu jenjang kasta dalam arti sebuah materi bukan pada sebuah karya mungkin ini sebuah deskripsi satir tapi juga agak mungkir bagi kaum oportunis yang selalu ada karena otak meraka memang didesain sedemikian rupa....!
suatu pertanda itu ada saat aku berada dalam bangku kosong kelas bawah pada sebuah konfrensi tepatnya pada acara festifal pesta penyair nusantara disana kaum saka selalu mengenakan pakaian yang bergaya borjuis sebagai cirikhas yaitu topi yang selalu dikenakan oleh putu wijaya (sang teror mental) seolah-olah merupakan sebuah mahkota bagi para seniman kaya(yang dianggap berhasil dan sukses dengan sebuah karya) padahal kalau kita apresiasi dengan sebuah pendekatan sastra karya mereka notabene masuk pada neveaux animal yang mengutamakan sebuah birahi yang bersembunyi pada satu teori..................?
saat semua mulai merancu dengan neraca yang tak seimbang mulai terpintas satu pertanyaan
(forum mulai gaduh) dan dari mulut keringku terlontar pertanyaan apakah sebuah karya sastra sudah mampu menjawab jeritan nusantara??????
oow sayang seribu sayang hanya karena saya mengenakan celana jeans gobal yang bolong dan seragam kaos oblong meraka tak mau menjawabnya padahal ini suatu konflik horisontal ditengah persetubuhan para kaum kapital........
jangan lah mencari sebuah unsur apa tapi jujur sebuah anekdotku menyusuri unsur bagaimana???????????
perbedaan sake dan saka tidak selamanya sake selalu miskin mungkin dari materi iya tapi disatu sisi sake sangat kaya pada sebuah karya begitu juga sebaliknya saka memang bergelimang harta tapi terkadang karya seorang saka sangat miskin akan sebuah perspektifisme..........?


mau tau kenapa.........? silahkan bercinta dengan misteri tanda tanya selalu menjawab itu keputusan bijak


tidak hanya sekedar mampir tapi hadi dan selalu berfikir

12 Juni 2008

ada

SEDIKIT ROMANTIS..! SUSUAH PUITIS…?


Sederhana kataku

Bukan sajak atau puisi karyaku

Sehelai kertas aku kotori dengan dengan nafsu

BIRAHI…

HEWANI…….

SAITONI…

Selayaknya aku takpantas,

Saat ini negriku galau

Aku hanya bisa diam termangu

Kudengar suara bapak menjerit

Susahnya membeli bibit

Kuintai seorang pelacur

Menatap anaknya

Dan diapun berbicara

Anakku ibumu kotor

Yangkau makan itu rezeki haram

Tapi maafkan ibu hanya bisa menjual madu

Jangan tumbuh besar jika jadi benalu

Yang hanya bisa menonton negrimu bersimbah luka

Menderulah dengan tangismu

Karena sodara tuamu hanya menjadi saksi bisu

Jangan engkau meminta ibu membelikan buku sekolah untukmu

Itu sesuatu yang mustahil bagi ibu

Lihat dan lihatlah…..

Gincu ibu sudah tak merah lagi

Dan mukenah ibu tak seputih dulu

Biarpun begitu setidaknya darah ibu masih merah

Dan air susu dari tetek ibumu masih putih

Tutuplah telingan dan diam disitu

Jika ibu terlalu berharap banyak padamu.










09 Juni 2008

dimanapun berada tetep....! jiwanya INDONESIA


setiap orang punya cita-cita dan falsafah (pandangan hidup), dan kita boleh saja hijrah ke negri orang untuk mewujudkan apa yang kita inginkan tapi apakah gemerlap bintang dinegri orang bisa menutup mata dan hati kita ...? sesungguhnya hanya ada satu jawaban yaitu adalah rasa nasionalisme yang selalu bersemayam dalam hatilah yang akan membawa kita pada hakikat arti setia......!


wahai engkau seluruh warga negara indonesia kibarkan merah putih dalam hatimu dimanapun engkau berada karena secara simbolik itu adalah keberanian dan kesucian sebuah warna....
hidup indonesia...................! beradalah kau di lintas cakrawala berkibarlah dijiwa katulistiwa...

02 Juni 2008

cerita anker


Celoteh burung gagak
Kicau burung cendrawasih





orang pintar " bagaimana dampak dari kenaikan BBM terhadap perekonomian
udara...?"
orang bodoh " ya susah mas kalau saya jawab "
orang pintar " loh......! kok susah...? bukannya anda juga warga di negeri ini"
orang bodoh " mas-mas....! la wong KTP saja saya tidak punya"
" bagaimana saya bisa disebut sebagai warga negara, sedangkan nenek
moyang saya dulu sudah mendiami tanah air ini selama berpuluh-puluh
tahun jauh sebelum para rambut pirang dan simata sipit menginjakkan kaki mereka di tanah ini..."
orang pintar" wah itu soal peraturan bung....!"
orang bodoh " peraturan bagaimana lagi, lawong untuk
mengatur perut saya supaya tidak keroncongan saja susah
apalagi soal peraturan yang dipersusah seperti itu, saya eski rang bodoh dan tiak pernak ngerti soal gitu-gituan tapi walau bagaimanapun saya tinggal dan lahir ditanah air yang sama, ya… dinegri ini jadi peraturanatau kebijakan apapun harusnya ya di ceritakan dulu kepada kami"
orang pinta " wah kalau diceritakan pasti anda binggung, sedangkan peratura dan kebijakan sekarang itukan juga tidak lepas dari perannan negeri-negri yang berkuasa lainya"
orang bodoh “ hehehehe 2008X…. anda juga orang negri ini bukan mas…?
Orang pintar “ yaiya lah masak yaiya dung”
Orang bodoh “ kata nenek moyang saya, “ kita hidup di negri kita sendiri tapi kenapa kita harus berunding dulu denagan negri-negri yang mencoba membuat negri kita sebagai boneka yang bias di atur dan dijajah seenak jidak dan perut orang asing…?”
Kalau anda memamang benar-benar orang pintar anda harus belajar dari kebodohan, anda kan tau karena kita dulu masih miskin akan pendidikan jadi kita bias dijajah, masak sekarang kita yang sudah merdeka masih saja dijajah oleh negri yang lainya”
Orang pintar “ lho-lho bukan begitu maksud saya”
Orang bodoh “ ya akuilah memang itu kenyataannya”
Orang pintar “ sesungguhnya anda ini siapa sih”
Orang bodoh “ saya hanya si busung lapar, jadi jangan biarkan kebijakan semakin menambah beban kehidupan saya”
silahkan anda bersafari dengan intelek yang anda miliki tapi apakah selamanya kita akan begini atau anda memang suka dengan ini…?
Orang pintar “ jadi kalau anda jadi orang yang berperan untuk mengatur negri ini apa yang akan anda lakukan?
Orang bodoh “ saya tidak butuh kedudukan, tapi kalo saya sebagai pemimpin yang pertama adalah menyentuh tanah dan air negri ini karena pemimpin yang baik akan mengenali negrinya dan diluar kepala mengetahui kesejahtraan rakyatnya tapi kerena saya buakan pemimpin jadi saya ya milih jadi orang biasah saja”
Orang pintar “loh kok gitu”
Orang bodoh “ ya…. Karena mungkin perekonomian yang menghimpit leher seperti ini yang bias membuat saya sadar akan cinta negri saya, buat apa saya kaya kalau kekayaan akan mengorbankan jati diri negri yang saya cintai ini