email : gramatoriz@yahoo.com



GRAMATOR

GRAMATOR
GERAKAN MAHASISWA DINAMISATOR

ABSENT

29 Oktober 2008

Sastra dan Perjuangan Kelas: Dalam Analisa Sosiologi Sastra Marxis

Oleh : Agus Bahtra

(By Komunitas Sastra STKIP Jombang 06 A)

Pengantar

Saat ini adalah era globalisasi, sehingga hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya yang ada, yang telah digelontarkan oleh mereka yang menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Mereka adalah kelompak masyarakat (Penguasa) yang telah memuja-muja dan menari-nari diatas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Sehingga yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati (ingat…kita hanya bisa menikmati) apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh; padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.

Yang menjadi perhatian kita adalah hal tersebut akan membawa dampak psychologist maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia-kita) yang notabene-Nya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Sehingga kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit pilitik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem kapitalisme-birokratik oleh bangsa sendiri yang disetir kapitalisme global.

Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng. Oleh karena itu adalah wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.

Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak dipimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sisni dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.

Analisa sosiologi Sastra Marxis

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, agama pada setiap jaman-merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan didalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau wong gedhe-wong cilik. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.

Jika bagi marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah sehingga menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.

Berarti hamper tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam naskah drama Opera Ikan Asin karya saduran N. Riantiarno yang disitu menggambarkan kekejaman kaum bagsawan yang telah melakukan pemerasan, koruptor, dan kebrengsekan. Dalam hal ini, komunitas sastra 06 A akan mengankat drama tersebut yang akan dipentaskan pada awal januari 2009. Contoh lain dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.

Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.

salam perjuangan…..!

Tidak ada komentar: